Jakarta – Publik kembali menyoroti sosok artis kontroversial Nikita Mirzani. Kali ini, perhatian tertuju pada proses pelimpahan tahap dua dari kepolisian ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan, di mana Nikita tampak tidak diborgol seperti tersangka pada umumnya. Kejadian ini pun memicu berbagai reaksi, terutama di media sosial, yang mempertanyakan apakah selebritas mendapat perlakuan khusus dalam proses hukum.
Namun, Kejari Jakarta Selatan memiliki alasan tersendiri terkait keputusan tersebut. Dalam konferensi pers yang digelar pada hari pelimpahan, pihak kejaksaan menegaskan bahwa tindakan tidak memborgol Nikita Mirzani adalah bentuk penghormatan terhadap asas hukum, bukan perlakuan istimewa.
Proses Pelimpahan Tahap Dua
Pelimpahan tahap dua merupakan proses hukum di mana tersangka dan barang bukti resmi diserahkan dari pihak kepolisian ke kejaksaan untuk selanjutnya disidangkan di pengadilan. Dalam proses ini, Nikita Mirzani hadir sebagai tersangka dalam kasus dugaan pencemaran nama baik yang dilaporkan oleh seseorang yang mengaku sebagai korban akibat unggahan Nikita di media sosial.
Nikita tiba di kantor Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dengan pengawalan dari kepolisian, namun tanpa borgol di tangannya. Ia tampak tenang dan bahkan menyapa awak media yang sudah menunggu sejak pagi. Penampilan santainya ini menjadi sorotan, terlebih karena publik terbiasa melihat tersangka digiring dengan tangan terikat.
Penjelasan dari Kejari Jakarta Selatan
Kepala Seksi Intelijen Kejari Jakarta Selatan, Heri Jerman, memberikan penjelasan resmi terkait tidak digunakannya borgol pada Nikita Mirzani. Menurutnya, keputusan tersebut didasarkan pada Peraturan Kapolri yang mengatur tentang penggunaan borgol hanya untuk tersangka yang dinilai berpotensi melarikan diri, mengancam petugas, atau membahayakan dirinya sendiri maupun orang lain.
“Dalam kasus ini, penyidik tidak melihat adanya urgensi untuk memborgol yang bersangkutan. Nikita kooperatif sejak awal penyidikan, dan tidak menunjukkan sikap yang membahayakan petugas atau publik. Maka, sesuai aturan, tidak ada kewajiban memborgol,” ujar Heri.
Ia juga menekankan bahwa asas praduga tak bersalah tetap berlaku dalam setiap proses hukum. Artinya, hingga ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, Nikita masih dianggap sebagai warga negara yang memiliki hak hukum yang sama seperti lainnya.
Reaksi Publik yang Beragam
Meski Kejari Jakarta Selatan telah memberikan klarifikasi, respons publik tetap beragam. Ada yang menilai keputusan tersebut sesuai aturan dan mencerminkan sistem hukum yang lebih manusiawi. Namun tak sedikit pula yang berpendapat bahwa keputusan itu memperlihatkan adanya ketimpangan perlakuan antara tersangka dari kalangan publik figur dan masyarakat biasa.
Seorang netizen menuliskan, “Kalau rakyat biasa pasti diborgol. Kok artis bisa bebas jalan-jalan tanpa borgol? Di mana keadilannya?” Sementara lainnya berpendapat, “Tidak semua tersangka perlu diborgol. Kalau dia tidak mengancam siapa-siapa, kenapa harus diborgol? Ini bentuk perlakuan hukum yang adil.”
Perbedaan pendapat ini menunjukkan bahwa isu hukum di Indonesia masih menjadi topik yang sangat sensitif, terutama ketika melibatkan tokoh publik.
Perlakuan Tersangka dan Asas Hukum
Secara hukum, penggunaan borgol memang diatur secara spesifik. Dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, disebutkan bahwa penggunaan borgol harus mempertimbangkan asas proporsionalitas, kebutuhan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Dengan demikian, tidak semua tersangka wajib diborgol, terlebih jika tersangka tidak melawan atau berpotensi kabur. Hal ini juga untuk menghindari stigmatisasi terhadap tersangka, terutama dalam kasus yang belum diputuskan secara hukum.
Praktik serupa sebenarnya bukan hal baru. Dalam banyak kasus lain, tersangka yang kooperatif dan tidak memiliki risiko tinggi biasanya juga tidak diborgol. Namun karena Nikita adalah figur publik, setiap detail penanganan kasusnya menjadi sorotan yang besar.
Nikita Tetap Ditetapkan sebagai Tahanan Kota
Meski tidak diborgol, Kejaksaan menetapkan Nikita sebagai tahanan kota. Artinya, ia dilarang bepergian ke luar kota tanpa izin dari pihak berwenang dan wajib melapor secara rutin. Status tahanan kota ini dipilih dengan pertimbangan bahwa Nikita memiliki anak yang masih kecil dan perlu perawatan, serta sikapnya yang selama ini dinilai cukup kooperatif.
Pengacara Nikita, Fahmi Bachmid, menyambut baik keputusan tersebut. Ia menyatakan bahwa kliennya siap mengikuti semua proses hukum yang berlaku dan berharap kasus ini segera tuntas agar tidak berlarut-larut.
“Kami menghargai keputusan kejaksaan dan berharap proses peradilan berjalan dengan adil dan transparan. Nikita akan kooperatif karena kami percaya bahwa kebenaran akan terungkap di pengadilan,” ujar Fahmi.
Penutup: Hukum Bukan Soal Popularitas
Kasus ini menunjukkan bahwa proses hukum harus tetap mengacu pada prinsip keadilan dan tidak boleh dipengaruhi oleh popularitas seseorang. Meski status Nikita sebagai selebritas membuat setiap geraknya disorot publik, perlakuan terhadapnya tetap harus didasarkan pada aturan hukum yang berlaku, bukan opini masyarakat.
Masyarakat juga diharapkan untuk tidak terburu-buru menyimpulkan atau menghakimi, karena proses hukum belum selesai. Kita semua punya tanggung jawab untuk mengawal jalannya hukum secara objektif, tanpa prasangka.
Ke depan, semoga penegakan hukum di Indonesia semakin transparan, adil, dan konsisten untuk semua warga negara — tanpa memandang status sosial, profesi, atau latar belakang.

Komentar
Posting Komentar